Rabu, 12 November 2014

NAIRASAON - GAOL NAIBAHO

LAGU NAIRASAON - GAOL NAIBAHO

Ingotonhu tongtong lao pasangaphon.
Sumangot ni da oppung nairasaon i.
Tung so olo do ahu mangalupahon.
Sai tong do pujionhu goar ni oppu i.
Sa manuppak ma sumangot nai.
Songoni ma sahala nai.
Pujionhu sai tong pasangapoh hu.
Goar ni oppu i.
Ai narmatua ma i ma da oppui.
Na borhat tu sibisa topi ni tao i.
Sian i ma tahe parserahanna.
Tu desa nawalu marliun liuni.
Tung torop da di pasogit i.
Songoni ma dipanombangan i.
Alani da sai tong pasangapon hu.
Goar ni oppu i.
Nairasaon, nairasaon.
Nairasaon, naisaraon.
Namartua ma i namarsahala.
Da oppu nami parsadaan i.
Nairasaon, nairasaon.
Nairasaon, naisaraon.
Sai pujionku tongtong.
Pasangaponhu goar ni oppu i.
Nairasaon, nairasaon.
Nairasaon, naisaraon.
Namartua ma i namarsahala.
Da oppu nami parsadaan i.
Nairasaon, nairasaon.
Nairasaon, naisaraon.
Sai pujionku tongtong
Pasangaponhu goar ni oppu i.
Ai narmatua ma i ma da oppui.
Na borhat tu sibisa topi ni tao i.
Sian i ma tahe parserahanna.
Tu desa nawalu marliun liuni.
  

 


 

LAGU PATAMBOR - JULI MANURUNG

LAGU PATAMBOR - JULI MANURUNG
 

LAGU TOGA MANURUNG - MARTIN MANURUNG


LAGU "TOGA MANURUNG"
Ciptaaan: Martin Manurung dan Fredy Tambunan.

TOGA MANURUNG

Toga Manurung, raja na uli na martua i
Na marsangap, ompu i na marsahala i
Na marpinompar, torop songon bintang di langit tahe
Sian Sibisa, sahat tu parserahan i

Toga Manurung, da raja i maranak tolu i
Sihahaan, Sibitonga, Siampudani
Marhaha-anggi, holong na marsihaholongan sude
Alai lumobi, holong na tu boru na i

Refr:
Toga Manurung, Manurung i Sipolin-polin i
Si sada anak, si sada boru, sada jambar i
Toga Manurung, Boru, Bere, Ibebere i
Si sada urdot, tu dolok tu toruan i

Toga Manurung, mamasu-masu tu bere na i
Tu Raja Tambun dohot tu si Raja Turi
Taingot be ma, ai tung so muba tung so mose be i
Denggan na i da, na martulang-marbere i


PERKAWINAN DALAM ADAT BATAK

PERKAWINAN DALAM ADAT BATAK



1. Kawin Lari atas kesepakatan bersama(Mangalua).

    Kawin lari atau Mangalua atas kesepakatan kedua calon mempelai sangat sering terjadi. kasus ini timbul karena orang tua tidak merestui si pemuda atau si pemudi pilihan anaknya.

2. Kawin Lari dengan paksa(Mangabing Boru).

    Jika seorang pemuda jatuh cinta kepada seorang gadis, tetapi lamarannya ditolak secara sepihak oleh orang tua, demi menutupi malu dan didorong rasa cintanya yang berapi-api, maka si pemuda mengajak beberapa orang temannya untuk menculik si gadis dan membawa si gadis kerumahnya untuk dijadikan istri. perbuatan ini dianggap pelanggaran susila tetapi masih ada jalan terbuka untuk perundingan.


3. Perkawinan atas desakan si gadis(Mahuempe/ Mahiturun) .

    Bentuk perkawinan mahuempe terjadi bila si gadis pergi menemui si pemuda atas prakarsa dan kemauannya sendiri. biasanya si gadis ditemani oleh beberapa temannya mendatangi si pemuda dan mendesak agar perkawinan segera dilaksanakan. Mahiturun adalah perkawinan yang hampir sama dengan mahuempe, bedanya dalam mahiturun si pemudi jauh lebih aktif dan agresif dibanding mahuempe.


4. Perkawinan untuk menggantikan istri yg meninggal(Panoroni) .

    Jika seorang istri meninggal dan mempunyai beberapa anak yg masih kecil-kecil, timbul masalah siapa yg akan mengasuhnya nanti. Dalam hal ini si Duda dapat meminta kepada orang tua si istri (parboru) untuk mencarikan pengganti istri yang sudah tiada.


5. Perkawinan karena suami meninggal (Singkat Rere).

    Jika seorang suami meninggal,maka akan timbul masalah bagi si janda untuk penghidupannya di kemudian hari dan jika si janda masih sehat dan masih mampu memberikan keturunan dan tidak keberatan untuk kawin lagi maka yang pertama harus dipertimbangkan menjadi calon suaminya ialah adik laki-laki dari si suami yg meninggal,atas dasar ‘ganti tikar’(singkat rere). Kalau pria yg mengawini si janda ialah adik atau abang kandung si suami atau saudara semarga yang sangat dekat dengan almarhum, maka istilah perkawinannya disebut pagodanghon atau pareakkon.


6. Bigami atau Poligami (Marimbang, Tungkot).

    Jaman dulu banyak lelaki yg malakukan poligami dengan alasan mengapa mereka mengambil istri kedua atau lebih, sebagian menyatakan untuk memperoleh keturunan yaitu karena masih belum mendapatkan keturunan laki-laki. tetapi ada juga yg bermaksud memperbesar kekeluargaan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraaan atau disebut pabidang panggagatan(melebarkan lapangan tempat merumput). Dalam kasus perkawinan bigami(marsidua- dua) kedudukan istri kedua sangat seimbang dengan istri pertama, sebab itu disebut marimbang. atau yang lain yaitu si istri pertama memilih istri kedua dari kalangan keluarga terdekat dan disebut tungkot(tongkat) .


7. Perkawinan sebagai agunan utang(Parumaen di losung).

    Perkawinan ini ialah perkawinan yg menggunakan anak gadis sebagai agunan utang si bapak dari si gadis tersebut. jika seorang bapak mempunyai utang pada seseorang dan belum mampu melunasinya, maka sebagai agunan utangnya dia menyerahkan anak gadisnya utk dipertunangkan kepada anak si pemberi utang.


8. Perkawinan menumpang pada mertua (Marsonduk Hela).

    Perkawinan marsonduk hela hampir sama dgn perkawinan biasa, tetapi karena mas kawin(sinamot) yg harus diserahkan kurang, maka diputuskan si laki-laki itu menjadi menantunya dan dia akan tinggal bersama mertuanya untuk membantu segala pekerjaan dari mulai pekerjaan rumah sampai sawah. Pihak sinonduk hela(menantu) tidak seumur hidup harus tinggal berasama mertuanya, jika keadaan sudah memungkinkan dia dapat pindah di rumahnya sendiri.


9. Perkawinan setelah digauli paksa(Manggogoi) .

    Jika laki-laki menggauli perempuan secara paksa(manggogoi) ada dua hal yg mungkin terjadi. jika perempuan tidak mengenal pria tersebut dan tidak bersedia dikawinkan maka pria tersebut dinamakan pelanggar susila hukumannya ialah hukuman mati. tetapi jika si perempuan bersedia melanjutkan kasusnya ke arah perkawinan yang resmi ,maka prosedurnya sama dengan mangabing boru.

10. Pertunangan anak-anak(Dipaorohon).

    Pertunangan anak-anak pada jaman dahulu bukanlah hal yang aneh, hal ini sering dilakukan oleh raja-raja dahulu. beberapa alasan mempertunangkan anak-anak: hubungan persahabatan/ kekeluargaan, seseorang tidak mampu membayar utang kepada pemberi utang, dll.

PERKAWINAN YANG DILARANG DALAM ADAT BATAK TOBA

PERKAWINAN YANG DILARANG DALAM ADAT BATAK TOBA 



Perkawinan bagi masyarakat Batak khususnya orang Toba adalah hal yang wajib untuk dilaksanakan, dengan menjalankan sejumlah ritual perkawinan adat Batak. Meski memiliki keunikan dan ragam keistimewaan yang terkandung dalam acara tersebut, upacara perkawinan adat Batak Toba juga terkenal sangat “merepotkan” jika kita bandingkan dengan upacara perkawinan di daerah lainnya di Indonesia.

Dalam perkawaninan adat Batak Toba juga ada aturan-aturan tertentu yang harus ditaati, dan hukumannya sangat tegas yang dianut oleh orang Batak sejak dulu kala. Dibeberapa daerah dan aturan yang berlaku yang dilaksankan oleh penatua masing-masing daerah berbeda-beda, ada yang dibakar hidup-hidup, dipasung, dan buang atau diusi dari kampung serta dicoret dari tatanan silsilah keluarga. Meskipun era saat ini beberapa aturan yang diberlakukan sejak dahulu kala, sebagian orang Batak kini sudah ada melanggarnya.

Berikut ini ada 5 Larangan dalam Perkawinan Adat Batak Toba :

1. Namarpandan

Namarpadan/ padan atau ikrar janji yang sudah ditetapkan oleh marga-marga tertentu, dimana antara laki-laki dan perempuan tidak bisa saling menikah yang padan marga. Misalnya marga-marga berikut ini:

    Hutabarat dan Silaban Sitio
    Manullang dan Panjaitan
    Sinambela dan Panjaitan
    Sibuea dan Panjaitan
    Sitorus dan Hutajulu (termasuk Hutahaean, Aruan)
    Sitorus Pane dan Nababan
    Naibaho dan Lumbantoruan
    Silalahi dan Tampubolon
    Sihotang dan Toga Marbun (termasuk Lumbanbatu, Lumbangaol, Banjarnahor)
    Manalu dan Banjarnahor
    Simanungkalit dan Banjarnahor
    Simamora Debataraja dan Manurung
    Simamora Debataraja dan Lumbangaol
    Nainggolan dan Siregar
    Tampubolon dan Sitompul
    Pangaribuan dan Hutapea
    Purba dan Lumbanbatu
    Pasaribu dan Damanik
    Sinaga Bonor Suhutnihuta dan Situmorang Suhutnihuta
    Sinaga Bonor Suhutnihuta dan Pandeangan Suhutnihuta


2. Namarito

Namarito (ito), atau bersaudara laki-laki dan perempuan khusunya oleh marga yang dinyatakan sama sangat dilarang untuk saling menikahi. Umpamanya seperti parsadaan Parna (kumpulan Parna), sebanyak 66 marga yang terdapat dalam persatuan PARNA. Masih ingat dengan legenda Batak “Tungkot Tunggal Panaluan“? Ya, disana diceritakan tentang pantangan bagi orangtua yang memiliki anak “Linduak” kembar laki-laki dan perempuan. Anak “Linduak” adalah aib bagi orang Batak, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kedua anak kembar tersebut dipisahkan dan dirahasiakan tentang kebeadaan mereka, agar tidak terjadi perkawinan saudara kandung sendiri.


3. Dua Punggu Saparihotan

Dua Punggu Saparihotan artinya adalah tidak diperkenankan melangsungkan perkawinan antara saudara abang atau adik laki-laki marga A dengan saudara kakak atau adik perempuan istri dari marga A tersebut. Artinya kakak beradik laki-laki memiliki istri yang ber-kakak/ adik kandung, atau 2 orang kakak beradik kandung memiliki mertua yang sama.


4. Pariban Na So Boi Olion

Ternyata ada Pariban yang tidak bisa saling menikah, siapa dia sebenarnya? Bagi orang Batak aturan/ ruhut adat Batak ada dua jenis untuk kategori Pariban Na So Boi Olion, yang pertama adalah Pariban kandung hanya dibenarkan “Jadian” atau menikah dengan satu Pariban saja. Misalnya 2 orang laki-laki bersaudara kandung memiliki 5 orang perempuan Pariban kandung, yang dibenarkan untuk dinikahi adalah hanya salah satu dari mereka, tidak bisa keduanya menikahi pariban-paribannya. Yang kedua adalah Pariban kandung/ atau tidak yang berasal dari marga anak perempuan dari marga dari ibu dari ibu kandung kita sendiri. Jika ibu yang melahirkan ibu kita ber marga A, perempuan bermarga A baik keluarga dekat atau tidak, tidak diperbolehkan saling menikah.


5. Marboru Namboru/ Nioli Anak Ni Tulang

Larangan berikutnya adalah jika laki-laki menikahi boru (anak perempuan ) dari Namboru kandung dan sebaliknya, jika seorang perempuan tidak bisa menikahi anak laki-laki dari Tulang kandungnya.

FILSAFAT NI HAGABEON, HASANGAPON, HAMORAON

FILSAFAT NI HAGABEON, HASANGAPON, HAMORAON



Tarsongon on ma hatorangan na. Adong do tolu poda siingoton ni hita halak batak na marojahan tu Filsafat ni ‘Dalihan na tolu’:
   
Molo naeng ho sangap, manang mandapot hasangapon, ingkon manat ma ho mardongan sabutuha. Lapatan ni hata ‘manat’ dison, i ma, Lehon sangap tu sipasangapon. Dok ‘amang’ molo tu siparamaon, ‘hahang’ tu siaparhahaon, ‘anggia’ tu siparanggion, Unang bahen juguhan mu tumimbo sian juguhan ni siparhahaonmu, nang pe tumimbo pangkatmu manang ummora ho. Unang pajolojolohon ho mandok hata manang manjalo parjambaran, ianggo disi do pe siparamaonmu (udam rupani). nangpe ho do nian haha di partubu. Angka i ma sijagaon di na mardongan sabutuha. Jala molo tinurut poda i, marsangap ma iba di tonga tonga ni dongan sabutuha jala  dengan sendirinya  di tonga ni masyarakat.

Molo naeng ho gabe, manang mandapat hagabeon, ingkon somba/hormat ma ho marhula hula . Ianggo tu hita Batak nunga boi dohonon naung tapardaging hon poda on. Sude do hita batak mangakui poda i, jala sai tongtong adong taida buktina. alai dibagasan i , ala naung Kristen hita, ndang boi bulat-bulat hita songon angka ompunta na jolo mandok, dibagasan tangan ni hula hula i do hagabeon. Ingkon marondolan tuson do hita, Ia na pasangap hula hula na manggohi patik palimahon i do i, i ma patik na manjanjihon tua di tano on tu angka na mangulahonsa. Jala hagabeon do antong di etong hita Batak tua nomor sada di tano on.

Molo naeng ho mamora, ingkon elek ma ho marboru., makdsudna, unang bahen borumi (helami) songon dak danak na somal. na boi asal surusuruon parentaon, jala paksaon di segala waktu dan segal hal, na boi songgak songgak hon jala boi juaon manurut lomoniba, Ndang boi songon i, Ingkon elek do tong tong hataniba tu nasida, Lambok jala pantun binahen hata i molo laho manuru, dampor jala sorur binahen pangkuling molo mangido. Molo tarpaksa ingkon juaon pangidoan nasida ala so tarpatupa iba, unang muruk muruk iba mandok, alai ingkon mansai halus do i dohonon ‘dengan lagu yang mengandung harapan’ Asa tung mardomu do poda on tu poda na dibuku na badia i, ‘Hamu angka natoras, unang gintali hamu angka ianak hon muna’ Jadi molo elek do iba marboru, ndang tarjua so holong roha ni boru dohot hela i di iba, sai na sarihonon nasida ma iba, jala ndang loasonna iba huma susa. Ba i do antong hamoraon na singtong.

DALIHAN NA TOLU (SISTEM DEMOKRASI VERSI BATAK)

DALIHAN NA TOLU (SISTEM DEMOKRASI VERSI BATAK)


Apa yang dimaksud dengan Dalihan Na Tolu ?

Dalihan Natolu artinya tungku berkaki tiga. Pertanyaan berikutnya kenapa harus berkaki tiga bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang mempunyai peranan mutlak dan akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Wow suatu sistem yang sangat Demokratis.......

"Ompunta naparjolo martungkot salagunde, Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihuton ni na parpudi"

Latar Belakang Pemakaian Istilah “Dalihan Na Tolu”

Pada masa dulu, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu, tungku itu dalam bahasa Batak disebut Dalihan. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan primer, digunakan untuk memasak makanan dan minuman. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Tungku (dalihan natolu), kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal, benda pengganjal ini dalam bahasa Batak Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.

Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak

Konsep Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak diartikan dalam tiga bagian yaitu :
1. Hula-hula
2. Dongan Tubu
3. Boru

Dalihan Na Tolu dalam pengelompokan masyarakat bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula-hula, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi Boru. Prinsip Dalihan Na Tolu tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.

(Sebagai contoh : Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur (berperan sebagai Boru) harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat (Berperan sebagai Hula-hula). Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal. Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu ?

"Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru"

Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna,
molo so Manat mardongan tubu natajom ma adopanna,
jala molo so elek marboru andurabionma tarusanna.

Dalihan Natolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Penanannya dalam kehidupan sehari-hari sangat besar seperti halnya menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Kemudian dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:

Somba Marhula-hula : ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula.

“Martahuak manuk mira, ditoru bara ni rumah, Halak na burju /somba marhula-hula, gabe jala mamora sahat dina saur matua”
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.

Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.

"Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na"

Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah. Jadi pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru)

Dalam budaya Batak, ada umpasa yang mengatakan "Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan". Hal ini terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.

Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu, dst. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.

Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan : berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

Manat mardongan tubu/sabutuha : suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.

Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Toga Simamora yakni Purba, Manalu dan Debataraja. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.

"Angka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna"

Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik. Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha”, dll panggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja (perencanaan acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat.

Dalam kasus lain, manta mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula dalam persidangan-persidangan pengadilan negeri di Bona Pasogit yang bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa. Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali. Dalam ungkapan (umpasa) batak ada istilah "jolo diseat hata asa di seat raut", artinya, sebaiknya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan. Umunya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun (konsultasi).

"Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina,
Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina"

Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralayannya. Namun untuk menjadikan tempahan itu, harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu.


Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.

Peranan Dalihan Na Tolu dalam Sistem Pemerintahan

Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).

Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandan tingkat Kabupaten(Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990).

Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat.[rujukan?] Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Referensi :
1. Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu, (Jakarta:Dian Utama, 2006).
2. J.C Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta: Lkis, 2004).
3. J. P. Sitanggang, Raja Napogos, Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.
4. Batara Sangti,Sejarah Batak,(Balige: Karl Sianipar Company, 1977).
5. H.P. Panggabean,Pembinaan NilaiAdat Budaya Batak Dalihan Natolu,(Jakarta: Dian Utama, 2007).

PARTUTURAN NI HALAK BATAK TOBA (SAPAAN BAGI ORANG BATAK TOBA)

PARTUTURAN NI HALAK BATAK TOBA (SAPAAN BAGI ORANG BATAK TOBA)



Ada begitu banyak sapaan kekerabatan yang biasa diucapkan oleh masyarakat Batak yang sering kita dengar, tetapi banyak juga orang yang mengklaim dirinya suku batak tetapi tidak tahu "martutur" (bertutur sapa). Kesalahan dalam sapaan ini bagi masyarakat Batak yang memahami adat dapat mengakibatkan ketersinggungan dan komunikasi yang tidak baik kepada lawan bicara sehingga sering muncul ucapan "Naso maradat do ho bah !".

Oleh sebab itu masyarakat Batak wajib memahaminya, berikut ini ada beberapa tutur sapa yang sering diucapkan semoga berguna :

    Ale-ale   = teman akrab, bisa saja berbeda marga
    Amang Naposo = anak (lk) abang/adik dari hula-hula kita
    Amang/ damang/ damang parsinuan =ayah, bapak, sapaan umum menghormati kaum laki-laki
    Amangbao = suami dari adik/ kakak (pr) (eda) suami kita
    Amangboru = suami kakak atau adik perempuan dari ayah
    Amangtua mangulaki = kakek ayah
    Amangtua = abang dari ayah, suami dari kakak ibu, suami dari pariban ayah yang lebih tua
    Amanguda = adik laki-laki dari ayah, suami dari adik ibu, suami dari pariban ayah yang lebih muda
    Amanta/ amanta raja = kaum laki-laki yang biasa dipanggil pada sebuah acara adat
    Ampara = sapaan umum buat yang se-marga, marhaha-maranggi (abang-adik) untuk yang laki-laki
    Anakboru = perempuan yang masih gadis atau belum menikah
    Anggi doli = suami dari anggiboru. Adik (lk) sudah kawin.
    Anggi = adik kita (lk), adik (pr) boru tulang
    Anggiboru = isteri adik kita yang laki-laki, istri dari adik yang satu marga
    Angkang boru = isteri abang satu marga
    Angkang doli = abang, laki-laki yang lebih tua dari kita yang sudah menikah dan satu marga sesuai tarombo / silsilah
    Angkangboru mangulaki = namboru ayah dari seorang perempuan
    Bere = semua anak (lk / pr) dari adik/kakak perempuan
    Bona niari = tulang dari kakek
    Bonaniari binsar = tulang dari ayah kakek
    Bonatulang = tulang dari ayah
    Boru diampuan = keturunan dari namboru ayah
    Boru = anak kandung perempuan, semua pihak keluarga dari saudara perempuan
    Borutubu = semua menantu (lk) / isteri dari satu ompung
    Dahahang (baoa/ boru) = abang kita atau isterinya
    Dainang = ibu, sebutan kasih sayang anak kepada ibu, digunakan juga oleh ayah kepada anak perempuannya
    Dakdanak = anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil
    Damang = ayah, bapak, sebutan kasih sayang dari anak kepada ayah, digunakan juga oleh ibu kepada anaknya sendiri
    Dolidoli = laki-laki yang masih lajang atau belum menikah
    Dongan sahuta = kekerabatan akrab karena tinggal dalam satu kampung
    Dongansapadan = dianggap semarga karena diikat oleh janji atau ikrar
    Dongantubu = abang/ adik satu marga
    Eda = kakak atau adik ipar antar perempuan, sapaan awal antara sesama wanita
    Haha = abang laki-laki
    Hahadoli = sebutan isteri terhadap abang (kandung) suaminya, abang dari urutan marga
    Hela = suami anak perempuan kita, menantu laki-laki, bisa juga sebutan untuk suami dari anak perempuan kita yang se-marga dan setarap menurut silsilah marga
    Hula-hula = keluarga abang/adik (lk) dari isteri
    Ibebere = keluarga anak (lk/pr) dari pihak perempuan
    Inang simatua = ibu mertua
    Inangbao = isteri dari adik/ abang (lk) istri kita
    Inangnaposo = isteri dari amangnaposo
    Inangtua mangulaki = nenek ayah
    Inangtua = isteri dari abang ayah, ada juga inangtua marpariban
    Inanguda = isteri dari adik ayah, ada juga inanguda marpariban
    Inanta/ inanta soripada = sebutan penghormatan bagi wanita sudah menikah, kaum ibu yang lebih dihormati dalam acara adat
    Ito, iboto = kakak atau adik perempuan satu marga, sapaan awal dari laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya, panggilan kita kepada anak perempuan dari namboru
    Lae = tutur sapa anak laki-laki tulang dengan kita (lk) maupun sebaliknya, tutur sapa awal perkenalan antara dua laki-laki, suami dari kakak atau adik kita sendiri (lk), anak laki-laki dari namboru kita (lk)
    Maen = anak-gadis dari hula-hula kita
    Namboru = kakak atau adik ayah kita yang sudah menikah maupun belum
    Nantulang = isteri dari tulang kita, mertua dari adik kita yang perempuan
    Nini = sebutan untuk anak dari cucu laki-laki
    Nono = sebutan untuk anak dari cucu perempuan
    Ompung boru = nenek, orang tua perempuan dari ayah kita
    Ompung doli = kakek, orang tua laki-laki dari ayah kita
    Ompungbao = kakek/nenek dari ibu kita, orangtua dari ibu kandung kita
    Ondok-ondok = cucu dari cucu laki-laki
    Pahompu = sebutan untuk semua cucu, anak - anak dari semua anak kita
    Pamarai = abang atau adik dari suhut utama, orang kedua
    Paramaan = anak (lk) dari hula-hula
    Pariban = semua anak perempuan dari pihak tulang kita, abang-adik karena isteri juga kakak-beradik, anak perempuan yang sudah menikah dari pariban mertua perempuan
    Parumaen = mantu perempuan, isteri dari anak
    Rorobot, tulangrorobot = tulang isteri (bukan narobot)
    Simatua boru = mertua perempuan, ibu dari istri
    Simatua doli = mertua laki-laki, ayah/ bapak dari istri
    Simolohon / simandokhon = iboto, kakak atau adik laki-laki
    Suhut = pemilik hajatan kelompok orang yang membuat acara adat
    Tulang = abang atau adik dari ibu, mertua dari adik kita yang laki-laki
    Tulang naposo = paraman yang sudah menikah
    Tulang Ni Hela = tulang dari pengantin laki-laki
    Tunggane boru, inang siadopan, pardijabunami, = isteri
    Tunggane doli, amang siadopan, amanta jabunami = suami
    Tunggane = semua abang dan adik (lk) dari isteri kita, semua anak laki-laki dari tulang

Untuk lebih menyempurnakan tulisan ini, penulis berharap buat saudara sekalian yang membaca mohon berikan komentarnya. Kiranya tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

KEPERCAYAAN ASLI (KUNO) SUKU BATAK

KEPERCAYAAN ASLI (KUNO) SUKU BATAK


Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah ‘dewa-dewa’. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah ‘Debata’, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut ‘Ompu Na Bolon’ (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa ‘Ompu Nabolon’ ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi ‘Mula Jadi Nabolon’ atau ‘Tuan Mula Jadi Nabolon’. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (=jamak) sehingga menjadi ‘Debata Mula Jadi Nabolon’.

Jadi jelaslah, istilah debata pada awalnya hanya dipakai untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan dewa. Dapat juga dilihat pada tokoh-tokoh kepercayaan Batak lainnya yang dianggap sebagai dewa mendapat penambahan kata ‘Debata’ di depan nama pribadi yang disembah. Misalnya Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Asi-Asi, Debata Natarida (Tulang atau paman dan orang tua), dll. Tetapi setelah masuknya Kekristenan (yang pada awalnya hanya sebatas strategi pelayanan) kata debata semakin populer karena nama debata dijadikan sebagai nama pribadi Maha Pencipta.

Dari Kata Dewata menjadi Debata

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau istilah debata berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengalami penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.

Dari pengamatan penulis, setiap kata atau istilah Sansekerta yang memiliki huruf w, kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan diganti menjadi huruf b, atau huruf yang lain.

Istilah-istilah Sansekerta yang  diserap dalam bahasa Batak:
Istilah Sansekerta (India) ; Batak Toba ; Indonesia
Purwa ; Purba ; Timur
Wajawia ; Manabia ; Barat Laut
Wamsa ; Bangso ; Bangsa
Pratiwi ; Portibi ; Pertiwi
Swara ; Soara ; Suara
Swarga ; Surgo ; Surga
Tiwra ; Simbora ; Perak

Perhatikan huruf cetak tebal.

Dari contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa setiap huruf w dalam bahasa Sansekerta (India) kalau dimasukkan ke dalam bahasa Batak akan berganti menjadi huruf b atau huruf lainnya. Wajar saja kalau Dewata dalam bahasa Sansekerta setelah masuk ke dalam bahasa Batak berganti menjadi Debata. Istilah ‘Dewata’ inilah yang membunglon ke dalam bahasa Simalungun menjadi ‘Naibata’ dan di daerah Karo menjadi ‘Dibata’ yang artinya tetap sama menjadi ‘dewa’.

MISTERI PRASASTI DOLOK TOLONG, BALIGE - TOBASA

MISTERI PRASASTI DOLOK TOLONG, BALIGE - TOBASA


Tidak banyak literatur yang membahas eksistensi prasasti Dolok Tolong di Balige-Kab. Toba Samosir-Prov. Sumut ini. Seperti prasasti dan inskripsi lain yang berada di Tanah Batak di Tapanuli, prasasti Dolok Tolong seakan tenggelam dengan eksistensi ribuan prasasti di Indonesia. Walaupun prasasti ini tidak akan berpengaruh besar terhadap sejarah Indonesia secara keseluruhan, namun diyakini keanehan tetap ada karena prasasti ini tepat berada di sekitar jantung Tanah Batak, bahkan Balige merupakan pusat perdagangan kerajaan Batak sejak dahulu kala dengan istilahnya “Onan Bolon”.

Di Onan Bolon inilah berbagai bentuk hukum dan konstitusi diamandemen dengan keterlibatan langsung rakyat dan masyarakat yang juga memanfaatkan onan sebagai pusat transaksi dagang yang memang menjadi tujuan utama.

Prasasti Dolok Tolong ini seakan menjelaskan sekali lagi pluralisme masyarakat Tapanuli dan Batak yang menjadi cikal bakal budaya toleransi dan tenggang rasa yang tinggi yang dianut oleh setiap orang Tapanuli sampai sekarang ini. Sikap itu tampak dari bentuk pemikiran yang terbuka atas segala bentuk ide dan konsep. Tentunya, terdapat juga kemungkinan adanya bagian kecil orang Batak yang berpikiran picik seperti halnya di berbagai tempat lainnya di Indonesia.

Tapanuli, seperti halnya daerah lain di Indonesia, merupakan daerah yang juga banyak mendapat pengaruh dari dunia luar. Beberapa manuskrip kuno seperti Sejarah Raja-raja Barus, Hikayat Raja Tuktung, Hikayat Hamparan Perak dan lain sebagainya, banyak menceritakan struktur masyarakat dan sosial Batak di zaman dahulu. Baik itu penjelasan mengenai saat-saat pembentukan sistem hukum dan perundangan-undangan maupun penjelasan mengenai peran orang Batak sebagai penyebar agama Islam di sekitar daerah yang sekarang menjadi bagian dari Prov. Sumatera Utara.

Dari berbagai manuskrip itu didapat sejarah Kerajaan Balige di tahun 1500-an yang saat itu diperintah oleh putra bungsu dari Si Raja Hita, putera Sisingamangaraja I yang menghilang dari Bakkara. Abang sulung dari Raja Balige tersebut bernama Guru Patimpus, seorang Raja dan Ulama, yang kemudian bermigrasi ke pesisir Timur Sumatera. Dia, yang memiliki anak-anak yang hafizd al-Qur’an, dikenal sebagai pendiri Kota Medan di tahun 1590.

Selain bukti sejarah tersebut, eksistensi prasasti Dolok Tolong diyakini merupakan bukti utama atas persinggungan budaya Batak dengan peradaban Hindu dan Buddha di Indonesia.

Menurut berbagai literatur yang secara terpecah-pecah menyinggung bukti sejarah ini, prasati ini merupakan prasasti atas eksistensi orang Majapahit di Tanah Batak. Saat itu, pasukan marinir Majapahit mengalami kekalahan pahit di Selat Malaka. Melalui sungai Barumun mereka menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di Portibi. Di sana, mereka dicegat masyarakat sehingga membuat mereka terpaksa melanjutkan pelarian sampai ke Bukit Dolok Tolong di Balige. Di Gunung inilah mereka meminta suaka politik kepada seorang Raja di tempat dari sub-rumpun marga Sumba (Isumbaon) yang saat itu menguasai wilayah tersebut.

Dolok Tolong, yang juga dikenal dengan nama Tombak Longo-longo Sisumbaon, ini merupakan sebuah pegunungan yang lumayan tinggi, dari puncaknya pandangan dapat di arahkan ke tanah Asahan, Labuhan Batu dan Angkola Sipirok dengan pemandangan yang sangat mempesona.

Diceritakan, seorang Pangeran yang mempimpin pelarian tersebut akhirnya memerintahkan untuk membuat prasasti tersebut sebagai sebuah hasil penjanjian dengan Raja dari marga Sumba tersebut dimana mereka diijinkan untuk tinggal di wilayah itu.

Pendapat lain mengatakan bahwa Pangeran tersebut juga menikahkan seorang putri yang ikut dalam rombongan pelarian kepada seorang raja Batak di tempat. Putri tersebut bernama Si Boru Baso Paet. Ada yang menafsirkan bahwa Si Boru Baso Paet sebenarnya merupakan perusakan kata dari Si Boru Majapahit yang artinya Srikandi Majapahit.

Lebih jauh lagi ada pula yang mengatakan bahwa Si Boru Baso Paet itulah yang menjadi nenek moyang orang Batak. Namun keterangan ini menjadi membingungkan karena eksistensi orang Batak di berbagai literatur telah ada berabad-abad sebelumnya dan bahkan ada pada abad ke-2 M telah berinteraksi dengan pelaut asing seperti yang diceritakan oleh Ptolemeus, tapi dengan nada negatif.

Tapi bila dilihat dari nama penamaan tempat itu oleh orang setempat, Tombak Longo-longo Sisumbaon, ada kemungkinan bahwa bukit tersebut merupakan pusat religi kaum animisme dan paganisme Batak dahulu kala. Arti harfiah dari kalimat tersebut adalah Hutan Rimba Yang Menjadi Tempat Persembahan. Eskistensi nama tempat ini sepertinya mirip dengan nama Dolok Partangisan di sebuah daerah antara Dolok Sanggul dan Tele yang merupakan tempat tradisional untuk memberikan sesajen berupa manusia (korban) untuk memuja roh atau dikenal dengan istilah mamele begu.

Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya sebuah penelitian yang menyeluruh atas apa isi dan arti sebenarnya dari tulisan atau tanda yang terdapat di prasasti tersebut. Bukan tidak mungkin, selain dari dugaan kedatangan orang Majapahit, sebenarnya terdapat bentuk kebudayaan di Balige yang selama ini tidak dikenal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Tentu yang paling disayangkan lagi adalah rendahnya peran pemerintah daerah dalam menghormati eksistensi bukti-bukti sejarah ini. Padahal tidak sedikit dana APBD dikucurkan untuk membangun objek-objek wisata, konvensional maupun rohani, yang tampaknya sangat berlebihan dan terkesan mubazir serta tidak produktif. Pemerintah seharusnya tidak terjebak dalam sebuah kebijakan yang malah menghilangkan nilai-nilai pluralisme budaya dan adat.

Bukan tidak mungkin apabila prasasti ini dapat diungkap lebih mendalam lagi, banyak kearifan lokal yang banyak diambil hikmahnya oleh generasi muda sekarang ini.

TAROMBO RAJA NAIRASAON

TAROMBO RAJA NAIRASAON 

 

sebagai bahan informasi mengenai partaromboan ni Pomparan ni oppui RAJA NAIRASAON untuk kalangan remaja yang belum tau mengenai partuturon terhadap pomparan ni RAJA NAIRASOAN.

brikut sekilas mengenai tarombo RAJA NAIRASAON :

SIRAJA BATAK, memiliki 2 orang putra, yaitu :
1. GURU TATEA BULAN
2. RAJA ISUMBAON


RAJA ISUMBAON, memiliki 3 orang putera, yaitu :
1. TUAN SORIMANGARAJA
2. SIRAJA ASI-ASI
3. SANGKAR SOMALINDANG


TUAN SORIMANGARAJA, memiliki 3orang istri dan 3 orang putera, yaitu :
1. TUAN SORIMANGARAJA/SIBORU ATING MALELA----->SORBA DIJULU
2. TUAN SORIMANGARAJA/SIBORU BIDING LAUT------->SORBA DIJAE
3. TUAN SORIMANGARAJA/SIBORU SANGGUL HAOMASAN--->SORBA DIBANUA


SORBADIJAE/DATU PEJEL

sorbadijae adalah nama pemberian waktu dia lahir, dan karena pintar dalam hal pertabitan atau hadatuon maka sorbadijae dijuluki denga sebutan datu pejel. dan nama pemberian ini lah yang lebih akrab dipanggil yaitu datu pejel.

DATU PEJEL mulanya bertempat tinggal di daerah pusuk buhit di di derah limbongan. Datu Pejel datang ke Porsea tepatnya di Uluan Sibisa sembari untuk bertapa dan melepaskan hobinya yaitu marultop. Di sibisa Datu Pejel lama tidak memiliki istri, sehingga dia memohon kpd mula jadi nabolon (tuhan nya orng batak dahulu)supaya diberi istri, tidak lama kemudian mula jadi nabolon pun memenuhi permintaan datu pejel dan ia diberi istri yang bernama TANTAN DEBATA, konon katanya TANTAN DEBATA ini dijadikan mula jadi nabolon dari seekor kodok/sibagur.

dan menurut cerita si boru tantan debata ini juga memelihara se ekor sibagur/kodok yang besar sehingga anaknya lahir seperti kodok dan dinamai SI RASAON.

SIRASAON artinya songon sibagur ( seperti kodok )

sesudah besar SIRASAON mengambil boru tulangnya yang berasal dari daerah pusuk buhit kampung halaman DATU PEJEL sebelum dtang ke sibisa yaitu limbong sebagai istrinya.

Pendek ceritai istri SIRASAON juga melahirkan 1 balutan ( dalam bahasa kedokteran kista )

namun balutan itu tidak dapat dibelah dengan benda tajam apapun, sehingga membuat oppung doli datu pejel membuang balutan ini ke ke pansur Napitu, melihat sikap datu pejel yang membuang balutan itu maka oppung boru tantan debata sangat geram dan emosi kepada oppung doli datu pejel sehinnga oppung boru kita bersumpah kepada oppung doli katanya " tung sojadi ma mardomu tanomam mu dohot tanoman ku" artinya bahwa kuburan datu pejel tidak dapat bersatu dengan kuburan tantan debata, dan ini pun memang betul terbukti

Setelah itu oppung boru pun mencari balutan itu kehutan, akhirnya ia mendapatkannya dan melihat 2 bayi mungil sedang menangis. Karena dari 1 balutan isinya ada 2 orang anak laki-laki maka oppung boru TANTAN DEBATA menamai kedua bayi itu dengan sebutan RAJA MARDOPANG.

RAJA MARDOPANG artinya bercabang

Kedua bayi itu diberi nama :
1. RAJA MANGATUR (yang berada di sebelah kiri balutan)
2. RAJA MANGARERAK (yang ada di sebelah kanan)

RAJA MANGATUR anaknya SITORUS, SIRAIT, dan BUTARBUTAR

RAJA MANGARERAK anaknya MANURUNG


Raja Mangatur beristri Deak Bintang Harugasan br Sagala anaknya 3

1. Raja Toga Sitorus beristri Pinta Omas Palangki br Sagala anaknya 3.
. Pane
. Dori
. Boltok

2. Raja Toga Sirait beristri Manotalan br Limbong anaknya 2
. Sirait Siahaan
. Sirait Siagian

3. Butarbutar beristri Ragi Oloan Br Sinaga anaknya 3
. Simananduk
. Simananti
. Huta Gorat

Raja Mangarerak anaknya 1.Dan Putrinya 1

1. Raja Toga Manurung anaknya 3.
. Hutagurgur.
. Hutagaol.
. Simanoroni.

Putri Raja Mangarerak :
. Boru Similingiling

PADAN SIMAMORA DENGAN MANURUNG (Hutagurgur)

 PADAN SIMAMORA DENGAN MANURUNG (Hutagurgur)




Tuan Sogar adalah keturunan Manurung si Hutagurgur dari Janjimatogu, anak ke 6 dari Raja Mangatur Manurung Generasi ke 5 dari Raja Toga Manurung. Konon suatu ketika Raja Marbulang keturunan Debata Raja Simamora yang telah meninggal dunia dan mempunyai istri yang menjadi janda.

Suatu ketika istri Raj Marbulang sakit keras dan belum ada seorangpun yang dapat mengobatinya.Tersiarlah bahwa Tuan sogar adalah seorang ahli hadatuon dan dapat mengobati, sehingga dicarilah beliau dan dapat mengobatinya tetapi dia meminta setelah sembuh maka Tuan Sogar akan memperistri Janda Raja Marbulang, maka sepakatlah Pihak keluarga Raja Marbulang dan pihak Parboru. Sehingga resmilah janda Raja Marbulang dipersunting Tuan Sogar dan lahir seorang anak yaitu Nahum Dimana. Namun karena Tuan Sogar hobi menngembara, Maka Nahum Dimana diresmikan Marga Simamora yang mana tetap sedarah dengan Manurung.

Dalam kondisi sudah tua Tuan Sogar mendatangi anaknya dan beliau meninggal di Dolok sanggul. Konon Pusara Tuan Sogar ada tumbuh Pohon Haiara dimana dahan dan rantingnya condong ke arah Porsea Janjimatogu. Demikian lah hubungan Manurung dengan Simamora Debata Raja. Dan melalui Blog ini dihimbau kepada Manurung / Boru Manurung agar menghindari perkawinan dengan Simamora, karena kita bersaudara.

Disini ada sekilas tarombo Simamora :
I.      Toga Simamora
II.     1.  Purba ; 2. Manalu ; 3. Debataraja
III.     Sunggu Marpasang
IV.     1. Babiat Naingol; 2. Sampe Tua; 3. Marbulang
V.      1. Nasiat Najongjong; 2. Nahum Dimana; 3. Pangalengge
VI.     1. Guru Sabungan; 2. Tuan Sogar; 3. Guru Manurbing; 4. Raja Paimaon; 5. Girsang Matabun; 6. Lae Sabungan

PADAN TAMBA (Raja Humuntor) dengan MANURUNG (Hutagurgur)

 PADAN TAMBA (Raja Humuntor) dengan MANURUNG (Hutagurgur)


Raja Mangarerak /Br Hutahot mempunyai 1.anak yaitu R.Toga Manurung dan 1. Putri Br similingiling,  sedang R.Mangatur kawin dengan Br Harugasan Sagala dan punya anak 3 orang,
1. Raja Sitorus
2. Raja Sirait
3. Raja Butarbutar

R.Manurung kawin dengan Ampuljulu putri Sariburaja II (Pasaribu) dan Br si Sumaing juga br Pasaribu. R.Toga Manurung anaknya 3 dan putrinya 2 orang.
Anaknya :
1. Raja Hutagurgur
2. Raja Hutagaol
3. Raja Manoroni

Borunya :
Raja Toga Manurung Br Pintahaomasan kawin kepada RajaTambun dan Anian Nauli kawin kepada Raja Turi.

Raja Hutagurgur anaknya 4
1. Banualuhung
2. Batunanggar
3. Torpaniaji
4. Parpinggollobilobi di Simalungun/Manik.

Banualuhung anaknya 2 orang
1. Patuanjong
2. Raja Mangatur

Raja Mangatur Manurung kawin dengan Nantiraja br Rumapea.
Raja Mangatur anaknya 7
1. Purajanaualu
2. Patubanban
3. Ompuniunggul
4. R.Sijambang
5. Sompaoloan
6. Tuansogar
7. R.Humuntor gabe marga Tamba dan gantinya Boru Napuan (boru Ni Tamba/boru Rumapea) sehubungan Tuan Sogar (R. Mangatur boru Rumapea generasi ke VI Nairasaon) marpariban dengan Tamba/br Rumapea.

R.Mangatur Manurung Generasi VI dari Nairasaon atau Generasi IV dari R.Manurung marpariban dengan Tamba kira-kira generasi yang sama dengan Raja Mangatur generasi VI yaitu generasi ke 6 Naiambaton atau generasi ke 5 Raja Tamba Tua . R.Mangatur Manurung/Nantiraja Br Rumapea dan Tamba/Nantimalela Br Rumapea.Dalam kisahnya R.Mangatur punya 7,org anak laki-laki dan demikian juga Tamba tersebut punya putri tanpa ada anak laki-laki. Timbul kesepakatan mereka bertukar dimana anak si R.Mangatur yang namanya R.Humuntor dijadikan anaknya Tamba dan putri Napuan Tamba dijadikan putri R.Mangatur Manurung dari saat itu resmilah R.Humuntor marga Tamba dan Boru Napuan jadi Br Manurung yang kawin dengan Marga Damanik.

Banyak yang mengira Padan ini terjadi antara Tamba dengan Manurung Simanoroni, namun bila dilihat dari Turi-turian sesungguhnya yang berpadan adalah Tamba dengan Manurung Hutagurgur. Namun diperkirakan Tamba yang marpadan dengan Manurung Hutagurgur ini adalah Tamba Sitonggor, namun masih ditelusuri silsilahnya dimanakah posisi Raja Humuntor dalam tarombo Tamba Tua. Namun oleh karena padan ini, membuat hampir marga Tamba pun berpadan dengan Manurung, apabila semua marga Tamba marpadan dengan Manurung, maka marga manjae Tamba Tua pun haruslah marpadan dengan Manurung Hutagurgur karena marga manjae Tamba Tua adalah satu saudara dengan Tamba, dan lebih dekat hubungan Tamba Sitonggor dengan Siallagan dan Turnip dibandingankan Tamba Sitonggor dengan Tamba Lumban Toga-tonga dan Tamba Lumban Toruan, karena Tamba Sitonggor Siallagan dan Turnip masih lebih dekat, yaitu satu bapa Marria Raja. Begitu juga dengan Tamba Lumban Tonga-tonga yang lebih dekat dekat Si Opat Ama (Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok) karena satu bapa Tuan Lumban Tonga-Tonga, begitu juga dengan Tamba Lumban Toruan dengan Ronatio (Rumahorbo, Napitu, Sitio) serta Sidauruk, namun semuanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun hingga ke atas satu bagian Pomparan Raja Naiambaton.

Jadi, padan Tamba dengan Manurung terjadi di masa Raja Humuntor anak ni Raja Mangarerak Manurung generasi ke VI Nairasaon menjadi anak ni Tamba/boru Rumapea dan Napuan boru Tamba menjadi boru ni Raja Mangatur Manurung.

PERKEMBANGAN MARGA- MARGA BATAK

PERKEMBANGAN MARGA- MARGA BATAK




SI RAJA BATAK mempunyai 2 orang putra, yaitu :

1. GURU TATEA BULAN.

2. RAJA ISOMBAON.

GURU TATEA BULAN

Dari istrinya yang bernama SI BORU BASO BURNING, GURU TATEA BULAN memperoleh 5 orang putra dan 4 orang putri, yaitu :

- Putra :

a. SI RAJA BIAK-BIAK, pergi ke daerah Aceh.

b. TUAN SARIBURAJA.

c. LIMBONG MULANA.

d. SAGALA RAJA.

e. MALAU RAJA.

-Putri :

a. SI BORU PAREME, kawin dengan TUAN SARIBURAJA.

b. SI BORU ANTING SABUNGAN, kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA, putra RAJA ISOMBAON.

c. SI BORU BIDING LAUT, juga kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA.

d. SI BORU NAN TINJO, tidak kawin (banci).

TATEA BULAN artinya "TERTAYANG BULAN" = "TERTATANG BULAN".

RAJA ISOMBAON (RAJA ISUMBAON)

RAJA ISOMBAON artinya RAJA YANG DISEMBAH. Isombaon kata dasarnya somba (sembah).

Semua keturunan SI RAJA BATAK dapat dibagi atas 2 golongan besar :

a. Golongan TATEA BULAN = Golongan Bulan = Golongan (Pemberi) Perempuan. Disebut juga GOLONGAN HULA-HULA = MARGA LONTUNG.

b. Golongan ISOMBAON = Golongan Matahari = Golongan Laki-laki. Disebut juga GOLONGAN BORU = MARGA SUMBA.

Kedua golongan tersebut dilambangkan dalam bendera Batak (bendera SI SINGAMANGARAJA), dengan gambar matahari dan bulan. Jadi, gambar matahari dan bulan dalam bendera tersebut melambangkan seluruh keturunan SI RAJA BATAK.

SARIBURAJA dan Marga-marga Keturunannya

SARIBURAJA adalah nama putra kedua dari GURU TATEA BULAN. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama SI BORU PAREME dilahirkan marporhas (anak kembar berlainan jenis).

Mula-mula SARIBURAJA kawin dengan NAI MARGIRING LAUT, yang melahirkan putra bernama RAJA IBORBORON (BORBOR). Tetapi kemudian SI BORU PAREME menggoda abangnya SARIBURAJA, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest. Setelah perbuatan melanggar adat itu diketahui oleh saudara-saudaranya, yaitu LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, dan MALAU RAJA, maka ketiga saudara tersebut sepakat untuk membunuh SARIBURAJA. Akibatnya SARIBURAJA mengembara ke hutan Sabulan meninggalkan SI BORU PAREME yang sedang dalam keadaan hamil. Ketika SI BORU PAREME hendak bersalin, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara, Tetapi di hutan tersebut SARIBURAJA kebetulan bertemu dengan dia.

SARIBURAJA datang bersama seekor harimau betina yang sebelumnya telah dipeliharanya menjadi "istrinya" di hutan itu. Harimau betina itulah yang kemudian merawat serta memberi makan SI BORU PAREME di dalam hutan. SI BORU PAREME melahirkan seorang putra yang diberi nama SI RAJA LONTUNG.

Dari istrinya sang harimau, SARIBURAJA memperoleh seorang putra yang diberi nama SI RAJA BABIAT. Di kemudian hari SI RAJA BABIAT mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing. Mereka bermarga BAYOANGIN.

Karena selalu dikejar-kejar dan diintip oleh saudara-saudaranya, SARIBURAJA berkelana ke daeerah Angkola dan seterusnya ke Barus.

SI RAJA LONTUNG

Putra pertama dari TUAN SARIBURAJA. Mempunyai 7 orang putra dan 2 orang putri, yaitu :

- Putra :

a. TUAN SITUMORANG, keturunannya bermarga SITUMORANG.

b. SINAGA RAJA, keturunannya bermarga SINAGA.

c. PANDIANGAN, keturunannya bermarga PANDIANGAN.

d. TOGA NAINGGOLAN, keturunannya bermarga NAINGGOLAN.

e. SIMATUPANG, keturunannya bermarga SIMATUPANG.

f. ARITONANG, keturunannya bermarga ARITONANG.

g. SIREGAR, keturunannya bermarga SIREGAR.

- Putri :

a. SI BORU ANAKPANDAN, kawin dengan TOGA SIHOMBING.

b. SI BORU PANGGABEAN, kawin dengan TOGA SIMAMORA.

Karena semua putra dan putri dari SI RAJA LONTUNG berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama LONTUNG SI SIA MARINA, PASIA BORUNA SIHOMBING SIMAMORA.

SI SIA MARINA = SEMBILAN SATU IBU.

Dari keturunan SITUMORANG, lahir marga-marga cabang LUMBAN PANDE, LUMBAN NAHOR, SUHUTNIHUTA, SIRINGORINGO, SITOHANG, RUMAPEA, PADANG, SOLIN.

Dari keturunan SINAGA, lahir marga-marga cabang SIMANJORANG, SIMANDALAHI, BARUTU.

Dari keturunan PANDIANGAN, lahir marga-marga cabang SAMOSIR, GULTOM, PAKPAHAN, SIDARI, SITINJAK, HARIANJA.

Dari keturunan NAINGGOLAN, lahir marga-marga cabang RUMAHOMBAR, PARHUSIP, BATUBARA, LUMBAN TUNGKUP, LUMBAN SIANTAR, HUTABALIAN, LUMBAN RAJA, PUSUK, BUATON, NAHULAE.

Dari keturunan SIMATUPANG lahir marga-marga cabang TOGATOROP (SITOGATOROP), SIANTURI, SIBURIAN.

Dari keturunan ARITONANG, lahir marga-marga cabang OMPU SUNGGU, RAJAGUKGUK, SIMAREMARE.

Dari keturunan SIREGAR, lahir marga-marga cabang SILO, DONGARAN, SILALI, SIAGIAN, RITONGA, SORMIN.

SI RAJA BORBOR

Putra kedua dari TUAN SARIBURAJA, dilahirkan oleh NAI MARGIRING LAUT. Semua keturunannya disebut marga BORBOR.

Cucu RAJA BORBOR yang bernama DATU TALADIBABANA (generasi keenam) mempunyai 6 orang putra, yang menjadi asal-usul marga-marga berikut :

1. DATU DALU (SAHANGMAIMA).

2. SIPAHUTAR, keturunannya bermarga SIPAHUTAR.

3. HARAHAP, keturunannya bermarga HARAHAP.

4. TANJUNG, keturunannya bermarga TANJUNG.

5. DATU PULUNGAN, keturunannya bermarga PULUNGAN.

6. SIMARGOLANG, keturunannya bermarga SIMARGOLANG.

Keturunan DATU DALU melahirkan marga-marga berikut :

a. PASARIBU, BATUBARA, HABEAHAN, BONDAR, GORAT.

b. TINENDANG, TANGKAR.

c. MATONDANG.

d. SARUKSUK.

e. TARIHORAN.

f. PARAPAT.

g. RANGKUTI.

Keturunan DATU PULUNGAN melahirkan marga-marga LUBIS dan HUTASUHUT.

LIMBONG MULANA dan Marga-marga Keturunannya

LIMBONG MULANA adalah putra ketiga dari GURU TATEA BULAN. Keturunannya bermarga LIMBONG. Dia mempunyai 2 orang putra, yaitu PALU ONGGANG dan LANGGAT LIMBONG. Putra dari LANGGAT LIMBONG ada 3 orang. Keturunan dari putranya yang kedua kemudian bermarga SIHOLE dan keturunan dari putranya yang ketiga kemudian bermarga HABEAHAN. Yang lainnya tetap memakai marga induk, yaitu LIMBONG.

SAGALA RAJA

Putra keempat dari GURU TATEA BULAN. Sampai sekarang keturunannya tetap memakai marga SAGALA.

LAU RAJA dan Marga-marga Keturunannya

LAU RAJA adalah putra kelima dari GURU TATEA BULAN. Keturunannya bermarga MALAU. Dia mempunyai 4 orang putra, yaitu :

a. PASE RAJA, keturunannya bermarga PASE.

b. AMBARITA, keturunannya bermarga AMBARITA.

c. GURNING, keturunannya bermarga GURNING.

d. LAMBE RAJA, keturunannya bermarga LAMBE.

Salah seorang keturunan LAU RAJA diberi nama MANIK RAJA, yang kemudian menjadi asal-usul lahirnya marga MANIK.

TUAN SORIMANGARAJA dan Marga-marga Keturunannya

TUAN SORIMANGARAJA adalah putra pertama dari RAJA ISOMBAON. Dari ketiga putra RAJA ISOMBAON, dialah satu-satunya yang tinggal di Pusuk Buhit (di Tanah Batak). Istrinya ada 3 orang, yaitu :

a. SI BORU ANTING MALELA (NAI RASAON), putri dari GURU TATEA BULAN.

b. SI BORU BIDING LAUT (NAI AMBATON), juga putri dari GURU TATEA BULAN.

c. SI BORU SANGGUL HAOMASAN (NAI SUANON).

SI BORU ANTING MALELA melahirkan putra yang bernama TUAN SORBA DJULU (OMPU RAJA NABOLON), gelar NAI AMBATON.

SI BORU BIDING LAUT melahirkan putra yang bernama TUAN SORBA DIJAE (RAJA MANGARERAK), gelar NAI RASAON.

SI BORU SANGGUL HAOMASAN melahirkan putra yang bernama TUAN SORBADIBANUA, gelar NAI SUANON.

NAI AMBATON (TUAN SORBA DJULU/OMPU RAJA NABOLON)

Nama (gelar) putra sulung TUAN SORIMANGARAJA lahir dari istri pertamanya yang bernama NAI AMBATON. Nama sebenarnya adalah OMPU RAJA NABOLON, tetapi sampai sekarang keturunannya bermarga NAI AMBATON menurut nama ibu leluhurnya.

NAI AMBATON mempunyai 4 orang putra, yaitu :

a. SIMBOLON TUA, keturunannya bermarga SIMBOLON.

b. TAMBA TUA, keturunannya bermarga TAMBA.

c. SARAGI TUA, keturunannya bermarga SARAGI.

d. MUNTE TUA, keturunannya bermarga MUNTE (MUNTE, NAI MUNTE, atau DALIMUNTE).

Dari keempat marga pokok tersebut, lahir marga-marga cabang sebagai berikut (menurut buku "Tarombo Marga Ni Suku Batak" karangan W. Hutagalung) :

a. Dari SIMBOLON : TINAMBUNAN, TUMANGGOR, MAHARAJA, TURUTAN, NAHAMPUN, PINAYUNGAN. Juga marga-marga BERAMPU dan PASI.

b. Dari TAMBA : SIALLAGAN, TOMOK, SIDABUTAR, SIJABAT, GUSAR, SIADARI, SIDABOLAK, RUMAHORBO, NAPITU.

c. Dari SARAGI : SIMALANGO, SAING, SIMARMATA, NADEAK, SIDABUNGKE.

d. Dari MUNTE : SITANGGANG, MANIHURUK, SIDAURUK, TURNIP, SITIO, SIGALINGGING.

Keterangan lain mengatakan bahwa NAI AMBATON mempunyai 2 orang putra, yaitu SIMBOLON TUA dan SIGALINGGING. SIMBOLON TUA mempunyai 5 orang putra, yaitu SIMBOLON, TAMBA, SARAGI, MUNTE, dan NAHAMPUN.

Walaupun keturunan NAI AMBATON sudah terdiri dari berpuluih-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang melarang perkawinan antar sesama marga keturunan NAI AMBATON.

Catatan mengenai OMPU BADA, menurut buku "Tarombo Marga Ni Suku Batak" karangan W. Hutagalung, OMPU BADA tersebut adalah keturunan NAI AMBATON pada sundut kesepuluh.

Menurut keterangan dari salah seorang keturunan OMPU BADA (MPU BADA) bermarga GAJAH, asal-usul dan silsilah mereka adalah sebagai berikut :

a. MPU BADA ialah asal-usul dari marga-marga TENDANG, BUNUREA, MANIK, BERINGIN, GAJAH, dan BARASA.

b. Keenam marga tersebut dinamai SIENEMKODIN (Enem = enam, Kodin = periuk) dan nama tanah asal keturunan MPU BADA pun dinamai SIENEMKODIN.

c. MPU BADA bukan keturunan NAI AMBATON, juga bukan keturunan SI RAJA BATAK dari Pusuk Buhit.

d. Lama sebelum SI RAJA BATAK bermukim di Pusuk Buhit, OMPU BADA telah ada di tanah Dairi. Keturunan MPU BADA merupakan ahli-ahli yang trampil (pawang) untuk mengambil serta mengumpulkan kapur barus yang diekspor ke luar negeri selama berabad-abad.

e. Keturunan MPU BADA menganut sistem kekerabatan Dalihan Natolu seperti yang dianut oleh saudara-saudaranya dari Pusuk Buhit yang datang ke tanah Dairi dan Tapanuli bagian barat.

NAI RASAON (RAJA MANGARERAK) : nama (gelar) putra kedua dari TUAN SORIMANGARAJA, lahir dari istri kedua TUAN SORIMANGARAJA yang bernama NAI RASAON. Nama sebenarnya ialah RAJA MANGARERAK, tetapi hingga sekarang semua keturunan RAJA MANGARERAK lebih sering dinamai orang NAI RASAON.

RAJA MANGARERAK mempunyai 2 orang putra, yaitu RAJA MARDOPANG dan RAJA MANGATUR. Ada 4 marga pokok dari keturunan RAJA MANGARERAK :

a. Dari RAJA MARDOPANG, menurut nama ketiga putranya, lahir marga-marga SITORUS, SIRAIT, dan BUTAR BUTAR.

b. Dari RAJA MANGATUR, menurut nama putranya, TOGA MANURUNG, lahir marga MANURUNG.

Marga PANE adalah marga cabang dari SITORUS.

NAI SUANON (TUAN SORBADIBANUA) : nama (gelar) putra ketiga dari TUAN SORIMANGARAJA, lahir dari istri ketiga TUAN SORIMANGARAJA yang bernama NAI SUANON. Nama sebenarnya ialah TUAN SORBADIBANUA, dan di kalangan keturunannya lebih sering dinamai TUAN SORBADIBANUA.

TUAN SORBADIBANUA mempunyai 2 orang istri dan memperoleh 8 orang putra.

Dari istri pertama (putri SARIBURAJA) :

a. SI BAGOT NI POHAN, keturunannya bermarga POHAN.

b. SI PAET TUA.

c. SI LAHI SABUNGAN, keturunannya bermarga SILALAHI.

d. SI RAJA OLOAN.

e. SI RAJA HUTA LIMA.

Dari istri kedua (BORU SIBASOPAET, putri Mojopahit) :

a. SI RAJA SUMBA.

b. SI RAJA SOBU.

c. TOGA NAIPOSPOS, keturunannya bermarga NAIPOSPOS.

Keluarga TUAN SORBADIBANUA bermukim di Lobu Parserahan - Balige. Pada suatu ketika, terjadi peristiwa yang unik dalam keluarga tersebut. Atas ramalan atau anjuran seorang datu, TUAN SORBADIBANUA menyuruh kedelapan putranya bermain perang-perangan. Tanpa sengaja, mata SI RAJA HUTA LIMA terkena oleh lembing SI RAJA SOBU. Hal tersebut mengakibatkan emosi kedua istrinya beserta putra-putra mereka masing-masing, yang tak dapat lagi diatasi oleh TUAN SORBADIBANUA. Akibatnya, istri keduanya bersama putra-putranya yang 3 orang pindah ke Lobu Gala-gala di kaki gunung Dolok Tolong sebelah barat.

Keturunana TUAN SORBADIBANUA berkembang dengan pesat, yang melahirkan lebih dari 100 marga hingga dewasa ini.

Keturunan SI BAGOT NI POHAN melahirkan marga dan marga cabang berikut :

a. TAMPUBOLON, BARIMBING, SILAEN.

b. SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL, NASUTION.

c. PANJAITAN, SIAGIAN, SILITONGA, SIANIPAR, PARDOSI.

d. SIMANGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU, PARDEDE.

Keturunan SI PAET TUA melahirkan marga dan marga cabang berikut :

a. HUTAHAEAN, HUTAJULU, ARUAN.

b. SIBARANI, SIBUEA, SARUMPAET.

c. PANGARIBUAN, HUTAPEA.

Keturunan SI LAHI SABUNGAN melahirkan marga dan marga cabang berikut :

a. SIHALOHO.

b. SITUNGKIR, SIPANGKAR, SIPAYUNG.

c. SIRUMASONDI, RUMASINGAP, DEPARI.

d. SIDABUTAR.

e. SIDABARIBA, SOLIA.

f. SIDEBANG, BOLIALA.

g. PINTUBATU, SIGIRO.

h. TAMBUN (TAMBUNAN), DOLOKSARIBU, SINURAT, NAIBORHU, NADAPDAP, PAGARAJI, SUNGE, BARUARA, LUMBAN PEA, LUMBAN GAOL.

Keturunan SI RAJA OLOAN melahirkan marga dan marga cabang berikut :

a. NAIBAHO, UJUNG, BINTANG, MANIK, ANGKAT, HUTADIRI, SINAMO, CAPA.

b. SIHOTANG, HASUGIAN, MATANIARI, LINGGA, MANIK.

c. BANGKARA.

d. SINAMBELA, DAIRI.

e. SIHITE, SILEANG.

f. SIMANULLANG.

Keturunan SI RAJA HUTA LIMA melahirkan marga dan marga cabang berikut :

a. MAHA.

b. SAMBO.

c. PARDOSI, SEMBIRING MELIALA.

Keturunan SI RAJA SUMBA melahirkan marga dan marga cabang berikut :

a. SIMAMORA, RAMBE, PURBA, MANALU, DEBATARAJA, GIRSANG, TAMBAK, SIBORO.

b. SIHOMBING, SILABAN, LUMBAN TORUAN, NABABAN, HUTASOIT, SITINDAON, BINJORI.

Keturunan SI RAJA SOBU melahirkan marga dan marga cabang berikut :

a. SITOMPUL.

b. HASIBUAN, HUTABARAT, PANGGABEAN, HUTAGALUNG, HUTATORUAN, SIMORANGKIR, HUTAPEA, LUMBAN TOBING, MISMIS.

Keturunan TOGA NAIPOSPOS melahirkan marga dan marga cabang berikut :

a. MARBUN, LUMBAN BATU, BANJARNAHOR, LUMBAN GAOL, MEHA, MUNGKUR, SARAAN.

b. SIBAGARIANG, HUTAURUK, SIMANUNGKALIT, SITUMEANG.

***

DONGAN SAPADAN (TEMAN SEIKRAR, TEMAN SEJANJI)

Dalam masyarakat Batak, sering terjadi ikrar antara suatu marga dengan marga lainnya. Ikrar tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga dengan sekelompok keluarga lainnya yang marganya berbeda. Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan kepada keturunan masing-masing untuk tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia. Walaupun berlainan marga, tetapi dalam setiap marga pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua belah pihak yang berikrar itu saling menganggap sebagai dongan sabutuha (teman semarga). Konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak yang berikrar wajib menganggap putra dan putri dari teman ikrarnya sebagai putra dan putrinya sendiri. Kadang-kadang ikatan kekeluargaan karena ikrar atau padan lebih erat daripada ikatan kekeluargaan karena marga. Karena ada perumpamaan Batak mengatakan sebagai berikut :

"Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang;

Togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan"

artinya :

"Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput;

Teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji"

Masing-masing ikrar tersebut mempunyai riwayat tersendiri. Marga-marga yang mengikat ikrar antara lain adalah :

a. MARBUN dengan SIHOTANG.

b. PANJAITAN dengan MANULLANG.

c. TAMPUBOLON dengan SITOMPUL.

d. SITORUS dengan HUTAJULU - HUTAHAEAN - ARUAN.

e. NAHAMPUN dengan SITUMORANG.

(Disadur dari buku "Kamus Budaya Batak Toba" karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 1987.)

***

CATATAN TAMBAHAN

1. Selain PANE, marga-marga cabang lainnya dari SITORUS adalah BOLTOK dan DORI.

2. Marga-marga PANJAITAN, SILITONGA, SIANIPAR, SIAGIAN, dan PARDOSI tergabung dalan suatu punguan (perkumpulan) yang bernama TUAN DIBANGARNA. Menurut yang saya ketahui, dahulu antar seluruh marga TUAN DIBANGARNA ini tidak boleh saling kawin. Tetapi entah kapan ada perjanjian khusus antara marga SIAGIAN dan PANJAITAN, bahwa sejak saat itu antar mereka (kedua marga itu) boleh saling kawin. Contohnya adalah kedua orangtua dari Mama saya. Kakek saya (bapak dari Mama saya) marga Panjaitan (oleh karena itu Mama saya boru Panjaitan), sedangkan istrinya yaitu Nenek saya (mama dari Mama saya) boru Siagian.

3. Marga SIMORANGKIR adalah salah satu marga cabang dari PANGGABEAN. Marga-marga cabang lainnya adalah LUMBAN RATUS dan LUMBAN SIAGIAN.

4. Menurut keterangan dari Mama saya, marga PANJAITAN selain mempunyai ikatan janji (padan) dengan marga SIMANULLANG, juga dengan marga-marga SINAMBELA dan SIBUEA.

5. Marga SIMANJUNTAK terbagi 2, yaitu HORBOJOLO dan HORBOPUDI. Hubungan antara kedua marga cabang ini tidaklah harmonis alias bermusuhan selama bertahun-tahun, mungkin bahkan sampai sekarang.

6. Menurut keterangan dari salah seorang teman kost saya yang bernama Yan Laurens Tampubolon (Teknik Industri UPNVY ' 98), TAMPUBOLON mempunyai putra-putra yang bernama BARIMBING, SILAEN, dan si kembar LUMBAN ATAS & SIBULELE. Nama-nama dari mereka tersebut menjadi nama-nama marga cabang dari TAMPUBOLON (sebagaimana biasanya cara pemberian nama marga cabang pada marga-marga lainnya).

7. Pada umumnya, jika seorang mengatakan bahwa dia bermarga SIAGIAN, maka itu adalah SIAGIAN yang termasuk TUAN DIBANGARNA, bukan SIAGIAN yang merupakan marga cabang dari SIREGAR ataupun LUMBAN SIAGIAN yang merupakan marga cabang dari PANGGABEAN.

8. Marga SIREGAR, selain terdapat di suku Batak Toba, juga terdapat di suku Batak Angkola (Mandailing). Yang di Batak Toba biasa disebut "Siregar Utara" sedangkan yang di Batak Angkola (Mandailing) biasa disebut "Siregar Selatan". Teman kita Erwin Robert Elisa Ritonga (Agronomi UPNVY ' 91) termasuk Siregar Selatan alias Batak Angkola (Mandailing). Berkaitan dengan itu, gereja asalnya bukanlah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), melainkan GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola).

9. Marga-marga TENDANG, BUNUREA, MANIK, BERINGIN, GAJAH, BARASA, NAHAMPUN, TUMANGGOR, ANGKAT, BINTANG, TINAMBUNAN, TINENDANG, BARUTU, HUTADIRI, MATANIARI, PADANG, SIHOTANG, dan SOLIN juga terdapat di suku Batak Pakpak (Dairi).

10. Di suku Batak Pakpak (Dairi) :

a. BUNUREA disebut juga BANUREA.

b. TUMANGGOR disebut juga TUMANGGER.

c. BARUTU disebut juga BERUTU.

d. HUTADIRI disebut juga KUDADIRI.

e. MATANIARI disebut juga MATAHARI.

f. SIHOTANG disebut juga SIKETANG.

11. Marga SEMBIRING MELIALA juga terdapat di suku Batak Karo. SEMBIRING adalah marga induknya, sedangkan MELIALA adalah salah satu marga cabangnya.

12. Marga DEPARI juga terdapat di suku Batak Karo. Marga tersebut juga merupakan salah satu marga cabang dari SEMBIRING.

13. Jangan keliru (bedakan) :

a. SITOHANG dengan SIHOTANG.

b. SIADARI dengan SIDARI.

c. BUTAR BUTAR dengan SIDABUTAR.

d. SARAGI (Batak Toba) dengan SARAGIH (Batak Simalungun).

14. Entah kebetulan atau barangkali memang ada kaitannya, marga LIMBONG juga terdapat di suku Toraja.

15. Marga PURBA juga terdapat di suku Batak Simalungun.

MARS PATAMBOR

MARS PATAMBOR





Raja Toga Manurung Ompu i
Luat Sibisa Huta sabunganna i
Raja na bonggal i, jala tarbarita
Gok dorbiana i Raja na jogi
Tona ni ompunta i Si Polin-polin i hot do i
Tongtong ma taingot i, si sada anak si sada boru i
Toga Manurung Sipolin-polin
Lam tu maju na ma pinompar ni
Masitungkolan ma, masianjuan ma
Rap taulahon ma tona na i

Raja Toga Manurung Ompu i
Boru ni Borbor do pardihutana i
Pinaribotna Si boru Miling-iling
Tolu anakna i Raja na jogi
Tona ni ompunta i Si Polin-polin ingot i
Burju tu boruna i tung mansai torop jala na basa
Si Hutagurgur, Si Hutagaol, Si Manoroni, anakna i
Udur tu dolok i, rap tu toruan L
Sai horas gabe ma hita sude

Raja Toga Manurung Ompu i
Pahompu ni Raja Nairasaon i
Raja Mangatur i Raja Mangarerak i
Amana i tahe panungkunan i
Tona ni ompunta i Si Polin-polin i jaga be
Tongtong taulahon i di paradatan ganup ari pe
Toga Manurung Sipolin-polin
Lam tu sangapna ma, pinomparmi
lam tu toropna ma lam morana ma
Sai horas gabe ma hita sude.